Pulanglah Dia Si Anak Hilang: Kumpulan Terjemahan dan Esai
Chairil Anwar (penerjemah)
Penulis: André Gide, Ernest Hemingway, John Steinbeck
Epilog: Evawani Alissa Chairil Anwar
Granit, 2003 | xv + 134 hlm
Mengumpulkan terjemahan Chairil Anwar, salah satu penyair terbesar kita, jelas adalah ide bagus yang bisa menelurkan sebuah buku penting dan menarik—saya bayangkan bakal seperti The Winged Energy of Delight, kumpulan terjemahan penyair kawakan Robert Bly. Untuk bisa seperti itu, tentu dibutuhkan kerja editorial yang cakap, namun yang ada: para editor buku ini justru mengesalkan. Mereka banyak menambahkan keterangan-keterangan yang tiada perlu bahkan mengacau, keterangan-keterangan yang justru menunjukkan mereka tak tahu apa-apa soal Chairil dan kerja kepenulisannya, sehingga kapasitasnya sebagai editor buku ini jadi layak dipertanyakan.
Lihat misalnya, pengantar yang diberi judul “Catatan Pinggir Penerbit edisi 2003: Hikmah Sebuah Kebetulan” yang bercerita bagaimana di “Fakultas Sastra universitas ternama di Jakarta”, “kami” (yang artinya Sigit B. Kresna dan tim Granit, sesuai nama yang tertera sebagai penulisnya) tanpa sengaja menemukan buku Pulanglah Dia Si Anak Hilang cetakan tahun 1956. “Sejenak kami tertegun membaca nama pengarangnya maupun penerjemahnya”. Kenapa mereka tertegun? Karena mereka tidak pernah tahu kalau Chairil itu menerjemahkan! Saya jadi bertanya-tanya apakah tim editor ini memang benar penyuka sastra atau buku. Sejak SMA pun, di kota yang jauh dari Jakarta pada 1990an, saya sudah tahu kalau Chairil Anwar juga seorang penerjemah (dan penyadur ulung). Meski saat itu belum membacanya langsung, tapi hal ini jelas diajarkan di pelajaran Bahasa Indonesia. Masa tim editor ini tidak tahu kalau Chairil Anwar menerjemahkan? Masa mereka belum pernah membaca buku H.B. Jassin, Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45 yang menderet dengan jelas dan lengkap semua terjemahan Chairil. Bacalah memoar Abu Bakar Lubis tentang masa-masa Revolusi Fisik, di situ dikisahkan juga bagaimana Chairil mengajak tanding Lubis menerjemahkan suatu puisi. Setelah melihat hasilnya, Chairil marah-marah, kurang lebihnya, “Kamu orang sekolahan masa nerjemahin kaya begini?”
Lebih parah lagi, “kami” para penulis pengantar penerbit ini tidak tahu pula kalau Chairil menulis prosa! “Ah betapa malunya kami, yang mungkin mewakili rata-rata penikmat awam di bidang sastra, bahwa yang kami ketahui dari Chairil Anwar hanyalah beberapa sajaknya saja.” Duh! Begitu pula mereka baru tahu kalau Chairil punya anak, dan mereka pun jadi tertegun untuk kedua kalinya. Mungkin kalau dikasih pinjam memoar Basuki Resobowo, mereka akan tertegun berkali-kali melihat segala polah begundalan Chairil dan asal usul slogan “bung ayo bung” di poster bikinan Affandi. Dan akan semakin tertegun kalau tahu bahwa Chairil bisa baca buku sambil jalan kaki, atau cari utangan buat mengobati sipilis.
Jadi begitulah, akibat ketertegun-tegunan para editor ini, kita pun jadi disuguhi buku campur aduk yang bikin tertegun-tegun pula: apa gerangan dasar-dasar penyuntingannya? Buku ini diberi judul besar Pulanglah Dia Si Anak Hilang, tapi nama André Gide tidak tercantum di sampul. Lagipula buku ini bukan cuma berisi Gide; di dalamnya ada pula karya Steinbeck, Hemingway, dan Chairil sendiri.
Dan coba kita lihat subjudunya: Kumpulan Terjemahan dan Esai. Andai benar ini kumpulan terjemahan Chairil, mengapa puisi-puisi terjemahannya tidak dimasukkan? Dan kalau benar ini kumpulan terjemahan, mengapa prosa-prosa aslinya diikutsertakan? Kalau ini kumpulan prosa saja, baik terjemahan maupun asli, mengapa surat-suratnya ke H.B. Jassin tidak dimuat lengkap?
Yang paling menjengkelkan saya: Editor menganggap karena mereka tidak tahu, maka rata-rata pembaca pun pasti tidak tahu (padahal melihat hasil akhir buku ini, sangat mungkin pengetahuan pembaca umum tentang Chairil lebih mumpuni dibanding para editor ini). Maka begitulah, beberapa frase karya Chairil mereka ubah seenaknya, mungkin dengan dasar agar pembaca “yang tidak tahu” ini tidak bingung dan jadi tertegun-tegun.
Frase “Tuhan Kita Isa Kristus” terjemahan Chairil diubah seenaknya jadi “Nabi Isa (Yesus Kristus)”, padahal Gide sendiri jelas tidak mungkin pakai tanda kurung! Versi Inggris frase tersebut adalah Our Lord Jesus Christ yang berarti terjemahan Chairillah yang tepat!
Begitu juga diktum terkenal Chairil “Kata ialah These itu sendiri” dalam pidato “Hoppla!” yang dianggap sebagai dasar humanisme universal dalam sastra Indonesia. Kata “These” diubah seenaknya oleh editor menjadi “tesis”! (dengan huruf kecil pula!)
Wahai editor, melihat ketertegun-tegunan kalian dalam banyak hal soal Chairil, maka tak ada kapasitasnya kalian mengganti semau-maunya pilihan-pilihan kata Chairil. Kalau kalian tahu Chairil Anwar, kalian tentu akan tahu bahwa ia tak pernah main-main dengan kata yang dipilihnya. Chairil tak percaya improvisasi bisa melahirkan karya besar. Dalam satu kesempatan Chairil mengutip bagaimana setelah wafatnya Beethoven, ditemukan beratus-ratus catatan sebagai persiapan pembuatan karya musiknya. Inilah seni cipta yang sesungguhnya. Bagi Chairil hasil seni improvisasi tetap jauh di bawah hasil seni cipta yang dipikirkan masak-masak, bahkan ia garisbawahi bahwa ini sebagai “soal hidup dan mati”. Wahai editor, kalian membuat Chairil Anwar mati berkali-kali!