Greed, Lust & Gender: A History of Economic Ideas
Nancy Folbre
Oxford University Press, 2009 | 418 hlm
The Invisible Heart: Economics and Family Values
Nancy Folbre
The New Press, 2002 | 288 hlm
Who Pays for the Kids?: Gender and the Structure of Constraint
Nancy Folbre
Routledge, 1994 | 352 hlm
[Ulasan ini dimuat juga di situs FAIR Institute]
Penulis feminis Rosalind Miles memberi judul Who Cooked the Last Supper untuk mengerangkai pandangannya mengenai sejarah dunia.[1] Dengan judul tersebut, ia hendak menyindir historiografi umumnya yang cenderung melupakan peran kaum perempuan di balik setiap peristiwa besar dunia. Di balik Perjamuan Terakhir misalnya –yang dikekalkan oleh Leonardo da Vinci dalam lukisan masyhurnya—kerja keras para perempuan juru masak yang memungkinkan perjamuan itu berlangsung justru tak tercatat dan tak terlukiskan.
Dengan semangat yang sama tulisan ini hendak menelisik pemikiran ekonom feminis Nancy Folbre. Sepanjang karir intelektualnya,[2] Folbre berusaha memberi nilai pada apa yang disebutnya sebagai “ekonomi perawatan” (economics of care), yakni kerja mengasuh anak dan merawat orang lansia/sakit yang biasanya dilakukan oleh perempuan dalam keluarga. Dua kerja domestik tersebut selama ini tak dipandang sebagai kerja produktif dan karenanya tak dianggap punya nilai dalam perekonomian. Keduanya, misalnya, tak masuk dalam hitungan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan ekonomi suatu negara.
Secara historis, Folbre mendapati bahwa konsep tentang “unproductive housewife” di atas sesungguhnya tidak senantiasa demikian adanya.[3] Konsep yang sangat patriarkis tersebut berkembang sesuai perkembangan ilmu ekonomi klasik dan diktum Adam Smith (1723-1790) bahwa kerja yang tidak menghasilkan komoditas yang bisa dijual tidak bisa digolongkan “produktif.” Padahal, ekonom-ekonom masa awal sebelum Smith seperti Sir William Petty (1623-1687) menganggap ibu rumah tangga sebagai pekerja produktif dalam “usaha” keluarga dan keluarga itu sendiri sebagai unit produksi dasar. Dalam temuan Folbre, sensus tahun 1861 di Inggris, misalnya, masih menggolongkan “ibu rumah tangga” sebagai kerja produktif. Begitu juga Sensus negara bagian Massachusetss di AS tahun 1875. Namun terminologi dan pendekatan sensus-sensus ini makin lama makin tunduk pada model Smith. Awalnya, ibu rumah tangga dipindah ke kategori “tidak berpendapatan” (non gainful), lalu dikategorikan sebagai “tidak bekerja” (unoccupied), dan kemudian “bergantung pada suami”(dependent). Pada 1920, kerja yang dilakukan kaum perempuan di luar pasar ini telah terhapus sama sekali dalam perhitungan resmi. Pandangan inilah yang lalu diekspor ke banyak negara berkembang[4] termasuk Indonesia, sehingga kita kini mendapati penggolongan “tidak bekerja” untuk ibu rumah tangga di KTP atau kartu keluarga.
Hal ini bagi Folbre bukan saja memarjinalisasi kaum perempuan, namun juga mengecilkan nilai penting pengasuhan anak bagi masa depan perekonomian. Anak-anak, tulis Folbre dalam kolomnya di rubrik “Economix” New York Times, harus dipandang sebagai “elemen kunci sebuah sistem perekonomian yang jangkauannya melampaui batas-batas antara pasar dan negara, sebuah bagian dari kemitraan negara/swasta antargenerasi yang vital bagi masyarakat.”[5] Dengan demikian, “modal manusia (human capital) bukan dibentuk di sekolah saja,”[6] melainkan melalui pengasuhan di tingkat rumah tangga. Di sinilah nilai penting kerja perawatan yang sudah semestinya diperhitungkan oleh ilmu ekonomi mainstream.
Folbre menemukan beberapa karakteristik kerja perawatan ini: Pertama, kerja ini mengandung motivasi yang bersifat intrinsik, dalam arti alasan-alasan untuk melakukannya kerapkali bukan bermotif laba, melainkan mengandung rasa tanggung jawab, komitmen, dan kasih sayang. Namun bukan berarti bahwa kerja ini sama sekali tak berbayar. Folbre menegaskan bahwa kerja perawatan dalam batas tertentu bisa disediakan oleh pasar.
Kedua, karena alasan pertama itulah, kerja ini biasanya dilakukan dengan penuh dedikasi (berkualitas tinggi dan menyita waktu) sementara upah finansialnya –untuk kerja perawatan berbayar yang disediakan oleh pasar—jauh lebih rendah daripada nilai riilnya. Dan karena kaum perempuan lebih mendominasi bidang ini, hal ini bisa turut menjelaskan mengapa pendapatan kaum perempuan secara umum lebih rendah dari lelaki. Terlebih lagi bagi ibu rumah tangga yang secara penuh bekerja mengurus anak atau lansia di rumah. Posisi tersebut kerap membawa ibu rumah tangga pada kerentanan finansial yang mengkhawatirkan. Di sinilah terletak ketidakadilannya.
Gerakan feminisme, sebagiannya, telah membawa perempuan keluar dari ranah domestik ini untuk bersaing dengan lelaki baik dalam kedudukan maupun pendapatan. Namun secara umum data-data statistik menunjukkan bahwa perempuan masih tetap mengutamakan kerja perawatan di luar pasar (sekalipun mereka mengemban kerja berbayar dalam ekonomi pasar). Hal ini membuat ketimpangan pendapatan antara lelaki-perempuan terus terjadi. Di titik inilah para ekonom terbelah dalam menganalisa apa penyebabnya. Sebagian berpendapat bahwa ini adalah “pilihan bebas” kaum perempuan, yang setelah menimbang-nimbang untung-ruginya, tetap memilih mengalokasikan waktu lebih besar untuk urusan rumah tangga sekalipun pendapatannya menurun karena itu. Sebagian lagi berpendapat bahwa itu bukan pilihan bebas, melainkan kekangan dari tatanan institusional lama yang terus membatasi peluang perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya di perekonomian pasar. Sehingga disimpulkan bahwa “strategi optimal bagi seorang perempuan yang ingin memaksimalkan peluang meraih sukses profesional dan ekonominya barangkali adalah dengan tidak mempunyai anak. Sementara perempuan yang ingin memaksimalkan kebahagiaan strategi terbaiknya bisa jadi adalah dengan tidak ingin membesarkan anak.”[7]
Bagi Folbre situasi ini menimbulkan paradoks yang mencemaskan: makin besar kebebasan perempuan untuk membuat pilihan dan mengekspresikan diri, makin kecil keinginannya untuk tunduk pada konsep-konsep tradisional mengenai keperempuanan, termasuk dalam soal pengasuhan dan perawatan. Masalahnya, mengecilnya tekanan bagi perempuan untuk menyuplai kerja perawatan ini bisa berakibat menurunnya suplai kerja perawatan ini dalam lingkup rumah tangga maupun pasar secara keseluruhan. Teori konvensional supply-demand tak berlaku di sini. Pasar tak bisa otomatis membentuk ekuilibrium apabila kerja perawatan menjadi barang langka. Dan bila ini terjadi, Folbre menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang “kita akan menghadapi krisis ekonomi yang disebabkan oleh kurangnya investasi pada anak-anak, kesulitan-kesulitan dalam memberi sokongan kepada orang sakit dan lansia.”[8]
Apakah dengan demikian, Folbre melalui“economics of care” ini bermaksud mengembalikan perempuan ke kerja domestiknya selama ini? Di titik ini ia tampak memang berseberangan dengan sebagian aliran feminisme yang mendorong kiprah maksimal perempuan dalam dunia kerja, dan simpulannya dalam buku Who Pays for the Kids? ditulis dalam bentuk percakapan untuk menyanggah keberatan-keberatan kaum feminis.
Bagi Folbre, feminisme yang diukur dalam bentuk keikutsertaan perempuan dalam angkatan kerja semata-mata dan sukses ekonomi yang dirumuskan “dalam kaidah-kaidah yang amat sempit dan tak berkelanjutan”[9] –dengan kompetisi dan motif laba yang tetap dominan sebagai latar belakang—tak banyak mengubah cara pandang dan penyikapan terhadap relasi-relasi ekonomi antarmanusia. Makna penting pengasuhan dan perawatan bagi keberlanjutan umat manusia tetap dinomorduakan dibanding “kerja produktif.” Komposisi jenis kelamin pelaku kerja produktif berubah, namun yang mendasarinya tetaplah kompetisi dan motif-motif sempit pencarian laba. Padahal, teori permainan(game theory), terutama dalam prisoner’s dillema, telah membuktikan secara empiris bahwa pengejaran kepentingan pribadi justru bisa memperburuk kondisi masyarakat secara keseluruhan.
Bagi Folbre, yang harus didorong demi kesejahteraan bersama adalah kooperasi, dan bukan kompetisi, terutama kooperasi yang menciptakan insentif kuat untuk berinvestasi bagi pengasuhan anak.[10] “Kita perlu mengubah orientasi sasaran-sasaran ekonomi kita menjauh dari peningkatan PDB dan lebih menuju ke peningkatan kesejahteraan sosial. Kita perlu memberi pengakuan dan dukungan yang lebih besar pada kerja yang telah dicurahkan untuk merawat dan mengurus anak-anak, orang sakit, dan lansia […] Anak-anak, laiknya lingkungan hidup, adalah barang publik. Keputusan-keputusan individual yang diambil orang tua dalam pengasuhan anak, dan tingkat sumber daya yang mereka curahkan untuk kerja ini, bisa punya dampak ekonomi bagi semua orang.”[11] Dan karena apa yang diinvestasikan dalam kerja pengasuhan dan perawatan ini bisa berdampak bagi banyak orang di masa mendatang, maka di situlah diperlukan peran negara –dalam bentuk insentif-insentif ekonomi—dalam menopang kerja pengasuhan dan perawatan tersebut dan memastikanoutput-nya bisa maksimal.
Sambil menjunjung tradisi demokrasi-sosial feminis, Folbre berkata, “Kita perlu meyakinkan lelaki khususnya, dan masyarakat umumnya, untuk menjalankan perawatan yang lebih baik terhadap anak-anak, orang sakit, dan lansia. Kita perlu merancang struktur-struktur batasan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan peluang yang bisa mendorong kerjasama sosial dan meminimalkan kekerasan. Bila tidak demikian, kaum perempuan akan kesulitan membebaskan diri dari sederet tanggung jawab yang secara tidak adil dibebankan pada mereka. Mereka takkan pernah merasa bebas untuk memilih.”[12]
Dengan ini juga Folbre menonjok “kepentingan diri” yang selama ini dianggap sebagai motif yang melatari seluruh aktivitas ekonomi bahkan tindakan manusia. Kita ingat ilustrasi terkenal Adam Smith dalam The Wealth of Nations, bahwa “bukan dari kebaikan hati tukang daging, peramu minuman, atau tukang roti kita mengharapkan makan malam kita, tetapi dari perhatian mereka untuk kepentingan diri mereka sendiri.” Karena mereka mencari laba dari dagangannya itulah kita bisa membeli makanan kita. Namun bagi Folbre Smith baru berhenti separuh jalan dan luput melihat siapa sesungguhnya yang memasak dan menyiapkan daging, minuman, dan roti itu sampai terhidang ke meja makan? Bukan “tukang daging, peramu minuman, atau tukang roti” tadi, melainkan para ibu dan istri, yang melakukannya bukan karena motif laba atau kepentingan diri; para perempuan yang –seperti juru masak Perjamuan Terakhir—tak tercatat dalam sejarah, padahal perannya yang tanpa pamrih itulah yang memberi basis bagi aktivitas ekonomi sehari-hari dan masa depan. Teori ekonomi Folbre berusaha memberi suara dan nilai bagi mereka yang terabaikan itu.
———–
[1] Rosalind Miles, Who Cooked The Last Supper: The Women’s History of The World (New York: Three Rivers Press, 2001).
[2] Nancy Folbre telah menulis enam judul buku, di samping puluhan artikel jurnal, kolom surat kabar, dan laporan. Folbre menerima Olivia Schieffelin Nordberg Award (1999) dan Leontif Prize (2004). Pada 2002 terpilih sebagai Presiden International Association for Feminist Economists (IAFFE).
[3] Nancy Folbre, “The Unproductive Housewife: Her Evolution in Nineteenth Century Economic Thought,”Signs: Journal of Women in Culture and Society 16 (3), 1991, hlm. 463–484. Lihat pula Nancy Folbre, Greed, Lust and Gender: A History of Economic Ideas (Oxford dan New York: Oxford University Press, 2009), hlm. 251-267.
[4] Nancy Folbre, Who Pays for the Kids? Gender and The Structure of Constraint (London: Routledge, 1994), hlm. 95.
[5] Nancy Folbre, “Price Tags for Parents,” New York Times, 2 Juli 2012.
[6] Nancy Folbre, “Writing Off Poor Children,” New York Times, 20 Agustus 2012.
[7] Dua kubu pendapat ini dengan pelbagai varian pembuktiannya dirangkum dalam Nancy Folbre, “Spinning the Top: Gender, Games and Macro Outcomes”, makalah untuk konferensi “Conference Reaching the Top: Challenges and Opportunities for Women Leaders,” 3 Maret 2004.
[8] Nancy Folbre, Who Pays for the Kids?, hlm. 250.
[9] Folbre, “Spinning the Top”.
[10] Nancy Folbre, The Invisible Heart: Economics and Family Values (New York: The New Press, 2001).
[11] Nancy Folbre, Who Pays for the Kids?, hlm. 253, 254.
[12] Ibid., hlm. 252.