Berfilsafat dengan Batarang

Batman and Philosophy: The Dark Knight of the Soul
Mark D. White & Robert Arp (eds.)
bagian dari The Blackwell Philosophy and Pop Culture Series yang disunting oleh William Irwin
Wiley-Blackwell, 2008  |  294 hlm

batmanBuku ini masih “sesaudara” dengan buku Metallica and Philosophy yang saya ulas sebelumnya. Dan seperti halnya Metallica and Philosophy, tidak semua esai di buku ini bagus—sebagian terlampau dangkal, dan beberapa topik diulang-ulang. Bila Metallica and Philosophy terlampau menitikberatkan pada soal eksistensialisme, buku ini terlalu banyak memakai utilitarianisme (dan kritik terhadapnya) untuk menyoroti Batman. Tapi tetap, dari total 20 esai, ada beberapa yang sangat menggugah dan membuat kita takkan membaca Batman dengan cara yang sama lagi.

1. “Why Doesn’t Batman Kill the Joker?” – Mark D. White
Ini ulasan dan pemanfaatan utilitarianisme paling bagus di buku ini: kalau membunuh 1 orang (Joker) bisa membuat begitu banyak nyawa selamat, mengapa Batman tidak membunuhnya saja dari dulu? Mengapa pengadilan Gotham tidak menjatuhkan hukuman mati saat Joker tertangkap, dan hanya membuinya di Arkham? Komisaris Gordon sudah beberapa kali nyaris tidak tahan untuk tidak membunuh Joker (misalnya di No Man’s Land, sesudah Joker membunuh Letnan Essen), tapi Batman mencegahnya. Dan sebaliknya, di Absolute Hush, Batman sendiri sudah nyaris membunuh Joker, tapi giliran Komisaris Gordon yang mencegahnya. “How many more lives are we going to let him ruin?” tanya Batman. Jim Gordon menukas, “I don’t care. I won’t let him ruin yours.” White mengulas dengan menarik bahwa di sini, seakan tanggung jawab nyawa yang hilang akibat ulah Joker ada di pundak Batman, dan bukan pundak Joker. Secara moral, Batman merasa memikul apa yang bukan tanggung jawabnya, dan untungnya akhirnya ia menyadari bahwa logika ini salah. “I will not… accept any responsibility for the Joker.” (Batman #614).

2. “Is It Right to Make a Robin?” – James DiGiovanna
Esai ini sesungguhnya membahas tentang landasan moral pendidikan. Apakah secara moral dan etis bisa dibenarkan tindakan Batman mendidik anak-anak muda menjadi Robin yang membuat si anak itu memakai kancut, topeng, dan jubah untuk menyongsong bahaya sedemikian rupa (yang dalam kasus Robin kedua, Jason Todd, sampai membuatnya tewas mengenaskan)? Bukankah masyarakat Spartan kuno, suku-suku pedalaman juga menghadapkan anak-anak muda mereka pada bahaya serupa sebagai ritus menuju kedewasaan?

Esai ini memaparkan tindakan Batman berdasarkan virtue ethics: Batman mengajarkan Robin untuk menjadi karakter yang beretika (paling tidak Robin pertama, Dick Grayson, dan mungkin Robin ketiga, Tim Drake). Untuk kasus Jason Todd Batman bisa dibilang gagal karena karakter Todd sudah terbentuk sebelumnya dalam hidupnya sebagai maling kelas teri: gegabah, tidak punya kesabaran, sikap moderat, dan kearifan.

Argumen di atas diteruskan lebih lanjut dalam esai no. 19 (“Leaving the Shadow of the Bat” – Carsten Fogh Nielsen) bahwa Batman tidak sekadar membuat Dick Grayson sebagai “bayangan”-nya. Karakter beretika yang dibentuk Batman akhirnya membuat Dick memutuskan berhenti sebagai Robin untuk mandiri menjadi Nightwing.

7. “Batman’s Promise” – Randall M. Jensen
Buat saya, ini esai yang paling menarik dalam kumpulan ini: dorongan apa yang membuat Bruce Wayne menjadi Batman? Kita tahu bahwa ia melihat orang tuanya dibunuh. Memang, banyak superhero menjadi superhero karena keluarga dekatnya dibunuh. Peter Parker melihat Paman Ben dibunuh. Frank Castle melihat istrinya dibunuh. Tapi dalam kasus Parker dan Castle, bukan itu yang menjadikan mereka superhero. Parker jadi Spider-Man karena sengatan laba-laba radioaktif, sementara Castle sudah sejak lama melakukan operasi militer sebelum jadi Punisher. Pembunuhan itu memberikan motif, tapi bukan pemicu mereka jadi superhero.

Sementara Bruce Wayne sengaja melatih diri dalam kriminologi, taktik tempur, dan semua ilmu bela diri di dunia memang untuk menjadi “pembasmi kejahatan”. Dia satu-satunya superhero yang sejak kecilnya bertekad untuk itu. Ini terkait dengan janji yang ia ucapkan di depan makam orang tuanya “bahwa ia akan memerangi kejahatan yang membuat orang tuanya terbunuh”. Janji “memerangi kejahatan” ini jauh lebih luas dari sekadar tekad balas dendam.

Esai ini membahas makna filosofis sebuah janji: apa arti memegang janji, apa arti melanggar janji, dan apa makna janji yang diucapkan pada seseorang yang sudah meninggal? Salahkah secara moral dan etis melanggar janji macam ini?

8. “Should Bruce Wayne Have Become Batman?” – Mahesh Ananth & Ben Dixon
Menurut Michael Noer and David M. Ewalt dalam The Forbes Fictional 15, Bruce Wayne adalah orang terkaya kesembilan di dunia (fiksi) pada 2008. (Gober Bebek di urutan kedua). Dengan kekayaan sebanyak itu, lebih efektif manakah bila ia berperan sebagai Batman atau sebagai Bruce Wayne si pebisnis dalam membasmi kejahatan? Esai ini punya topik menarik tapi sayang pembahasannya tidak.

14. “Alfred, The Dark Knight of Faith” – Christopher Drohan
Esai ini juga memukau dalam menyoroti peran Alfred yang selama ini seakan cuma sampingan. Perlu diingat dialah guru Bruce sekaligus pelayannya. Kesetiaan Alfred pada Bruce ini “absurd” dan unik secara eksistensialis. Alfred “bertindak melalui ketidakbertindakan”.

Leave a comment